Peran Pendidikan Tinggi Dalam Mendorong Mahasiswa Berprestasi Melalui Pengembangan Kecerdasan Kinestetik

Publicado  Senin, 17 Mei 2010


Peran Pendidikan Tinggi Dalam Mendorong Mahasiswa Berprestasi

Melalui Pengembangan Kecerdasan Kinestetik


A. Pendahuluan

1. Latarbelakang

Mahasiswa sebagai subjek pendidikan sungguh memerlukan lingkungan yang kondusif yang sengaja diciptakan untuk itu, yang memungkinkan seluruh potensi mereka dapat tumbuh dengan optimal. Potensi tersebut mensyaratkan kecakapan yang tanggap terhadap berbagai persoalan. Kecakapan ini bisa disebut sebagai kecerdasan. Tingkat kecerdasan yang memungkinkan tumbuhnya potensi seseorang, dimungkinkan berkembang dengan pola pendidikan yang memungkinkan untuk itu. Tri Dharma Perguruan Tinggi merupakan konsep aplikatif pendidikan yang memampukan mahasiswa untuk berprestasi sesuai peminatan dan bakatnya. Oleh sebab itu, perlu pemetaan yang jelas tentang konsep ideal pendidikan tinggi dalam memaksimalkan kecerdasan potensial mahasiswa menuju prestasi di segala bidang.

Manusia di dunia ini dilengkapi dengan berbagai kecerdasan yang cukup relatif, karena manusia memiliki kecerdasan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Contohnya ada seorang mahasiswa yang sangat mampu dalam perkuliahan logika atau menghitung, khusunya matematika, namun ada juga yang memiliki potensi dalam menggambar. Banyak orang berpandangan bahwa jika memiliki kemampuan eksakta, maka masa depannya akan sukses karena memiliki kemampuan untuk menghitung. Padahal setiap kemampuan orang masing-masing berbeda-beda. Orang yang sangat ahli matematika belum tentu ahli dalam seni, olahraga, musik dan lain-lain.

Setiap orang memilki kecerdasan yang berbeda. Prof. Howard Gardener seorang ahli riset dari Amerika mengembangkan model kecerdasan "multiple intelligence". Multiple intelligence artinya bermacam-macam kecerdasan. Ia mangatakan bahwa setiap orang memilki bermacam-macam kecerdasan, tetapi dengan kadar pengembangan yang berbeda. Yang di maksud kecerdasan menurut Gardener adalah suatu kumpulan kemampuan atau keterampilan yang dapat ditumbuhkembangkan.Menurut Howard Gardener dalam setiap diri manusia ada 8 macam kecerdasan, yaitu:

  1. Kecerdasan linguistik

  2. Kecerdasan logik matematik

  3. Kecerdasan visual dan spasial

  4. Kecerdasan musik

  5. Kecerdasan interpersonal

  6. Kecerdasan intrapersonal

  7. Kecerdasan kinestetik

  8. Kecerdasan naturalis

Selama ini, yang namanya “kecerdasan” senantiasa dikonotasikan dengan “Kecerdasan Intelektual” atau yang lazim dikenal sebagai IQ (Intelligence Quotient). Namun pada saat ini, anggapan bahwa kecerdasan manusia hanya tertumpu pada dimensi intelektual saja sudah tidak berlaku lagi. Selain IQ, manusia juga masih memiliki dimensi kecerdasan lainnya, yaitu: Kecerdasan Emosional atau EQ (Emotional Quotient) dan Kecerdasan Spiritual atau SQ (Spiritual Quotient) serta kecerdasan yang lain.

Kecerdasan yanga lain itu diantaranya adalah kecerdasan Kinestetik. Kecerdasan kinestetik adalah memuat kemampuan seorang anak untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah. Hal ini dapat dijumpai pada mereka yang unggul dalam bidang olah raga, misalnya bulu tangkis, sepak bola, tenis, renang, basket, dan cabang-cabang olah raga lainnya, atau bisa pula terlihat pada mereka yang unggul dalam menari, bermain sulap, akrobat, dan kemampuan-kemampuan lain yang melibatkan keterampilan gerak tubuh.

Olahraga memang bidang kegiatan yang paling erat kaitannya dengan peningkatan kecerdasan kinestetik. Pengertian olahraga adalah suatu bentuk kegiatan jasmani yang terdapat di dalam permainan, perlombaan dan kegiatan intensif dalam rangka memperoleh relevansi kemenangan dan prestasi optimal. Dalam dunia olahraga diperlukan sikap yang aktif, karena di dalam olahraga seluruh bagian tubuh digunakan untuk bergerak. Di antara kecerdasan majemuk yang dapat dikembangkan dalam dunia olahraga adalah kecerdasan kinestetik yaitu kemampuan untuk mengendalikan gerak, keseimbangan, koordinasi, dan ketangkasan bagian–bagian tubuh. Di dalam olahraga (kecuali cabang olahraga tertentu seperti catur) seseorang harus terus bergerak dan diperlukan kelincahan dan juga kecerdasan dalam mengaplikasikan materi yang diterima dengan olah gerak, sehingga dalam dunia olahraga tidak hanya bermain otot tetapi juga bermain otak.

Tubuh manusia itu cerdas. Kelincahan Susi Susanti, pebulu tangkis, juga penari, pesenam indah menawan hati. Kelincahan jemari pianis, ketrampilan tangan ahli bedah, pekerja laboratorium, pemain biola timbulkan decak kagum. Tubuh manusia bukan sekadar organ, badan mesin, robot. Tubuh manusia mampu melesat, terencana, terarah, serasi, terukur, lentur, kreatif jauh melebihi tubuh segala binatang. Potensi tubuh manusia seakan tanpa batas, karena dalam tubuh manusia bersemayam akal budi kreatif. Perpaduan tubuh dan akal budi kreatif berarti apa yang dikehendaki pikiran akan direspon tubuh dengan luwes lentur, tubuh ternyata juga mendinamisasi akal budi kreatif. Tubuh cerdas seorang penari atau pesenam indah merupakan hasil proses belajar melalui bertindak semenjak usia dini.


2. Perumusan Masalah

Di dasarkan latar belakang yang ada di atas maka perumusan masalah yang diajukan dalam karya tulis ini adalah :

  1. Bagaimana posisi strategis kecerdasan kinestetik di antara jenis-jenis kecerdasan yang lain dalam pencapaian kesuksesan?

  2. Bagaimana solusi alternatif Pendidikan Tinggi dalam rangka memfasilitasi mahasiswa yang berpotensi berprestasi melalui kecerdasan kinestetiknya?


  1. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah :

  1. Memetakan posisi strategis kecerdasan kinestetik di antara jenis-jenis kecerdasan yang lain dalam rangka pencapaian kesuksesan.

  2. Memberikan solusi alternatif bagi pendidikan tinggi dalam rangka memfasilitasi mahasiswa yang berpotensi berprestasi melalui kecerdasan kinestetiknya.


  1. Manfaat

  1. Bagi mahasiswa yang memiliki kecenderungan cerdas secara kinestetik diharapkan dapat mengeksplorasi dan mengembangkan bakat kecerdasannya melalui pola fasilitasi pendidikan tinggi yang bermutu.

  2. Bagi dosen di pendidikan tinggi, setidaknya ada kesadaran pentingnya suasana pendidikan yang kondusif dan permisif terhadap pengembangan berbagai macam jenis kecerdasan, salah satunya kecerdasan kinestetik, bagi pencapaian kesuksesan mahasiswa baik saat masih berstatus mahasiswa maupun nantinya di dunia kerja.

  3. Bagi pengambil kebijakan pendidikan tinggi diharapkan pengembangan semua jenis kecerdasan dapat diakomodir dalam berbagai produk, misalnya pembuatan kurikulum ataupun pemberian materi yang relevan.

  4. Bagi masyarakat umum, tanggapan timpang tentang “pembedaan cerdas dan tidak cerdas” bisa dikoreksi berdasarkan potensi berbagai jenis kecerdasan dalam diri setiap insan.




6. Batasan Masalah

Dalam karya tulis ini penulis membatasi pembahasan hanya pada pengembangan kecerdasan kinestetik dalam rangka pencapaian prestasi maksimal bagi mahasiswa melalui pola pendidikan yang tepat dan holistik di pendidikan tinggi.

Kecerdasan kinestetik ialah kemampuan dalam menggunakan tubuh kita secara terampil untuk mengungkapkan ide, pemikiran dan perasaan. Kecerdasan ini juga meliputi keterampilan fisik dalam bidang koordinasi, keseimbangan, daya tahan, kekuatan, kelenturan dan kecepatan.


Prestasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah meraih kesuksesan.


B. Kerangka Pikir

1. Jenis-Jenis Kecerdasan dan Upaya Optimalisasinya

Kecerdasan ialah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan, yaitu:

  1. Biologis

  2. Lingkungan

  3. Budaya

  4. Bahasa

  5. Masalah etika

Manusia mempunyai kecenderungan untuk mengukur segala sesuatu. Pada zaman modern, barangkali alat untuk yang pertama digunakan untuk mengukur kecerdasan seseorang diawali dengan penciptaan tes Intelligent Quotients (IQ) (Thomas R. Hoerr, 2007). Pada awal 1900-an, Alfred Binet di Paris diminta untuk mengembangkan alat yang akan digunakan untuk mengenali anak-anak dengan mental terbelakang dan membutuhkan perhatian khusus. Saat itulah, tes kecerdasan standar yang pertama di dunia terlahir dan kajian para psikolog dunia tentang kecerdasan dimulai. Belakangan Carl Brigham meneruskan perkembangannya dengan merancang tes IQ yang telah diperbarui dengan nama Scholastic Aptitute Test (SAT) (Munif Chatib, 2006). SAT dibuat dengan cara memberikan serangkain pertanyaan kepada anak-anak. Mereka mencatat pertanyaan yang dapat dijawab dengan betul oleh hampir semua anak, pertanyaan yang bisa dijawab oleh sebagian besar anak, pertanyaan yang bisa dijawab oleh sebagian kecil anak dan pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh seorang anak. Informasi yang dihasilkan digunakan untuk merancang sebuah alat tes untuk membeda-bedakan tingkat pengetahuan anak, disusun sedemikian rupa sehingga skor 100 menunjukan kecerdasan rata-rata. Gagasan bahwa kecerdasan dapat diukur dengan skor akhirnya berakar. Beberapa tahun kemudian banyak sekali tes standar tersedia untuk beragam tujuan, semua berdasarkan teori yang digagas oleh Binet bahwa sebuah tes dapat menghasilkan angka yang menggambarkan seluruh kemampuan dan potensi seseorang.

Sejak tes IQ diciptakan orang selalu melihat kecerdasan seseorang sebagai sesuatu yang tunggal yang dibawa sejak lahir dan tidak akan banyak berubah sepanjang kehidupan seseorang. Hasil tes IQ digambarkan dalam bentuk angka yang dengan angka tersebut daat diketahui bahwa seseorang bisa dimasukkan dalam kelompok jenius bagi orang yang menghasilkan angka tinggi dan kelompok idiot bagi orang menghasilkan angka rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Howard Gardner (1983) membuktikan bahwa pandangan ini keliru (Thomas Armstrong, 2005). Masalah terbesar dari tes standard dan tes IQ adalah bahwa tes-tes ini mengukur kecerdasan secara sempit, berdasarkan seberapa baik siswa dapat membaca dan menghitung. Hanya sedikit dari kemampuan murid yang dapat diukur melalui tes ini yaitu kecerdasan akademik saja, terutama kecerdasan berbahasa dan matematika, itupun hanya sebagian kecil saja sedangkan kemampuan yang lain tidak dapat diukur dengan tes ini. Gardner menyatakan bahwa ada banyak kecerdasan yang tidak dapat diukur oleh tes IQ standar. Bakat musik, misalnya, tidak dapat diukur melalui kecerdasan ini. Ia mengatakan bahwa dunia psikologi dan pendidikan telah terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mempelajari kecerdasan melalui ruangan tes. Tes semacam ini hanya memang dapat mengukur sepenggal kecil dari sebuah gambar yang besar. Perlu diingat bahwa kehidupan nyata jauh lebih luas dari kehidupan di sekolah. Keberhasilan di kehidupan nyata mencakup lebih dari sekedar kecakapan berbahasa (menulis dan membaca) dan berhitung. Kita dapat lihat dari kenyataan di dunia bahwa orang-orang yang sukses di dunia adalah bukan orang yang berhasil di sekolah (Chatib, 2006). Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sering kali melihat berita tentang siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) yang mempunyai kemampuan melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh orang normal, ini membuktikan bahwa orang idiot – berdasarkan vonis tes IQ - sekalipun mempunyai kecerdasan.

Setelah melalui berbagai penelitian, Gardner mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah dan menciptakan produk yang bernilai budaya (Armstrong, 2005, Hoerr, 2007). Ini menggambarkan definisi yang lebih luas, bersifat pragmatis dan berfokus pada penggunaan kemampuan dalam situasi kehidupan nyata, berbeda dengan definisi yang digambarkan dalam tes bakat standar yang didasarkan pada kefasihan berbahasa, kosa kata luas dan kecakapan berhitung yang hanya berguna di sekolah. Ia mengembangkan seperangkat kriteria untuk menentukan serangkaian kecakapan yang membangun kecerdasan. Kriteria difokuskan pada menyelesaikan masalah dan menciptakan produk dan didasarkan pondasi biologis dan aspek psikologis dari kecerdasan.

Sebagai seorang psikolog, Teori kecerdasan Gardner – yang terkenal dengan sebutan Multiple Intellegences disingkat MI- sangat kuat bergema di kalangan para pendidik karena menawarkan model untuk bertindak sesuai dengan yang para guru yakini: semua anak memiliki kelebihan. Ia mengidentifikasikan kecerdasan manusia menjadi delapan, yaitu: Kecerdasan bahasa, logis-matematis, musikal, kinestetis tubuh, spasial, naturalis, interpersonal, dan intrapersonal. Namun demikian ia tetap mengisyaratkan bahwa mungkin ada lebih banyak lagi kecerdasan dari pada yang pernah ia ungkapkan khususnya dalam budaya-budaya lain. Dengan demikian daftar MI-nya dapat disusun ulang dan ditambahkan (Julia Jasmine, 2007). Berikut ini penjelasan dari kecerdasan-kecerdasan tersebut.



a. Kecerdasan Linguistik: Word Smart

Kecerdasan linguistik adalah kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif (Armstrong, 2005) atau hal-hal yang berhubungan dengan kepekaan pada makna dan susunan kata (Hoerr, 2007). Oleh sebagian pakar pendidikan kecerdasan ini disebut sebagai kecerdasan verbal. Membaca dan menulis yang menjadi tolok ukur tes bakat tradisional merupakan contoh dari kecerdasan ini.

Orang yang memiliki kecerdasan ini juga memiliki keterampilan auditori -yang berkaitan dengan pendengaran- yang sangat tinggi. Dapat belajar melalui pendengaran, gemar membaca, menulis, berbicara dan suka ”bercengkerama” dengan kata-kata merupakan ciri dari kecerdasan ini (Jasmine, 2007). Ini dapat ditemukan pada penggemar teka-teki silang, pecandu permainan scrabble, penyair, penyiar, orator, politisi yang sering mengunakan kata-kata untuk memanipulasi dan mempengaruhi atau pada orang yang gemar menciptakan permainan kata atau senang menceritakan lelucon, plesetan, anekdot yang umunya merupakan permainan kata.

Orang dengan tipikal kecerdasan linguistik yang tinggi dapat tumbuh dan berkembang dalam atmosfer akademik yang lazimnya tergantung pada mendengarkan kuliah (verbal), mencatat, dan diuji pada tes-tes tradisional. Mereka pada umumnya tampak mempunyai tingkat kecerdasan yang tinggi karena perangkat penilaian kita biasanya mengandalkan respon-respon verbal.


b. Kecerdasan Logis-Matematis: Number Smart

Kecerdasan logis-matematis mencakup dan berhubungan dengan kemampuan ilmiah (Jasmine, 2007) atau kemampuan untuk menangani relevansi/argumentasi serta mengenali pola dan urutan (Hoerr, 2007), kecerdasan ini melibatkan keterampilan mengolah angka dan/atau kemahiran menggunakan logika atau akal sehat (Armstrong, 2005). Inilah kecerdasan yang sering dicirikan sebagai pemikiran kritis dan digunakan sebagai bagian dari metode ilmiah, yaitu kecerdasan yang digunakan ilmuwan ketika menciptakan hipotesis dan dengan tekun mengujinya dengan data eksperimental.

Orang dengan kecerdasan ini gemar bekerja dengan data: mengumpulkan dan mengorganisasi, menganalisis, menginterpretasikan, menyimpulkan kemudian meramalkan. Mereka melihat dan mencermati adanya pola serta keterkaitan antar data. Mereka suka memecahkan problem matematis dan memainkan permainan strategi seperti dam dan catur. Kecerdasan ini jualah yang digunakan oleh akuntan pajak, pemogram komputer, atau ahli matematika.

Kecerdasan logis-matematis sering dipandang dan dihargai lebih tinggi dari jenis kecerdasan lainnya, khususnya dalam masyarakat teknologi dewasa ini.

c. Kecerdasan Spasial: Picture Smart

Ini adalah kecerdasan gambar dan visualisasi, kemampuan untuk mengindera dunia secara akurat dan menciptakan kembali atau mengubah aspek-aspek dunia tersebut (Hoerr, 2007).

Orang dengan kecerdasan ini cenderung berpikir dalam atau dengan gambar dan cenderung mudah belajar melalui sajian-sajian visual seperti film, gambar, video, atau peragaan yang menggunakan gambar atau slide (Jasmine, 2007). Kecerdasan ini sering diungkapkan melalui kemampuan imajinasi, berangan-angan dan berperan.

d. Kecerdasan Kinestetik-Jasmani: Body Smart

Seringkali disebut sebagai kecerdasan kinestetik saja, yaitu kemampuan untuk menggunakan tubuh dengan terampil dan memegang objek dengan cakap (Hoerr, 2007) atau dengan kata lain kecerdasan seluruh tubuh dan kecerdasan tangan (Armstrong, 2005).

Orang dengan kecerdasan ini dikatakan sebagai orang yang ”berpikir” melalui tubuh dan memiliki koordinasi motorik yang baik dalam berbagai bidang. Mereka memproses informasi melalui sensasi yang dirasakan dalam tubuh mereka. Tidak bisa diam, ingin bergerak terus, mengerjakan sesuatu dengan tangan atau kakinya, dan berusaha menyentuh orang yang diajak bicara merupakan ciri dari kecerdasan ini. Mereka sangat baik dalam ketrampilan jasmani dan menyukai aktivitas fisik dan berbagai jenis olah raga. Mereka lebih nyaman mengkomunikasikan infromasi dengan peragaan (demonstrasi) atau pemodelan. Mereka dapat mengungkapkan perasaan mereka –emosi dan suasana hati- melalui tarian.

Setiap orang mempunyai pengalaman dengan tubuh dan gerak setidaknya dalam beberapa hal atau tingkat. Itulah perasaan akrab dan nyaman yang dimiliki seseorang ketika bersepeda setelah beberapa lama tidak melupakannya, tubuh kita begitu saja ”ingat” bagaimana mengendarai sepeda (Jasmine, 2007).

e. Kecerdasan Musikal: Music Smart

Sebagian orang menyebutnya dengan kecerdasan ritmik, sebuah kemampuan menyanyikan sebuah lagu, mengingat melodi musik, mempunyai kepekaan terhadap irama, titi nada, melodi, atau sekedar menikmati musik (Armstrong, 2005).

Kecerdasan ini barangkali yang paling sulit untuk difahami –setidaknya dalam lingkungan akademik- dan yang paling sedikit dukungannya diantara kecerdasan yang lain. Siswa yang cenderung bersiul dan bernyanyi di sekolah seringkali dianggap telah berlaku tidak patut dan/atau mengganggu kelas, padahal barangkali mereka sedang mempertontonkan kecerdasan musikalnya. Kita harus mempertimbangkan reaksi spontan terhadap siswa yang menggunakan earphone atau mp3 player ketika sedang membaca atau mengerjakan soal ulangan (Jasmine, 2007).

f. Kecerdasan Antarpribadi: People Smart

Kecerdasan ini sering pula disebut sebagai kecerdasan interpersonal, yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan memahami dan bekerja sama, membina hubungan dengan orang lain (Armstrong, 2005). Ini ditampakkan dengan kegembiraan berteman dan kesenangan dalam berbagai macam aktivitas sosial serta ketaknyamanan atau keengganan dalam kesendirian dan menyendiri.

g. Kecerdasan Intrapribadi: Self Smart

Sering disebut sebagai kecerdasan intrapersonal, yaitu kecerdasan untuk memahami diri sendiri dan mengetahui siapa diri ini sebenarnya (Armstrong, 2005), akses pada kehidupan emosional diri sebagai sarana untuk memahami diri sendiri dan orang lain (Hoerr, 2007). Ini adalah kecerdasan mengetahui apa kekuatan dan kelemahan diri sendiri, juga merupakan kecerdasan untuk bisa merenungkan tujuan hidup sendiri dan untuk percaya diri.

h. Kecerdasan Naturalis: Nature Smart

Kecerdasan naturalis adalah kemampuan untuk mengenali dan mengklasifikasi aneka spesies -flora dan fauna- dalam lingkungan (Hoerr, 2007). Kecerdasan ini melibatkan kemampuan untuk mengenali bentuk-bentuk alam di sekitar kita: burung, bunga, pohon, ikan, dan lain-lain. Ini juga berhubungan dengan kepekaan terhadap bentuk-bentuk alam lain, seperti susunan awan dan ciri geologis bumi. Orang dengan kecerdasan naturalis umumnya sangat teliti dan senang mengamati keadaan sekitarnya.

Menurut Armstrong (2005) yang perlu diingat adalah bahwa setiap orang mempunyai kedelapan kecerdasan ini dan setiap hari menggunakannya dalam kombinasi yang berlainan. Seperti tindakan membaca yang tampaknya sesuatu yang sangat ”word smart” juga melibatkan picture smart ketika secara visual menafsirkan tulisan dan membayangkan artinya, body smart ketika membacanya dengan suara yang keras, self smart ketika mengaitkan bacaan dengan pengalaman pribadi. Kita juga harus ingat bahwa masing-masing orang mempunyai kedelapan kecerdasan ini dengan cara mereka masing-masing. Ada orang yang unggul dalam kecerdasan tertentu, sementara yang lain mengalami kesulitan dalam berbagai kecerdasan, tapi kebanyakan dari kita berada di tengah-tengah, dalam arti kita mempunyai satu atau lebih kecerdasan yang terasa mudah untuk kita ungkapkan, beberapa yang terasa sedang-sedang saja, dan satu atau lebih yang terasa sangat sulit.



3. Fungsi Pendidikan Tinggi sebagai Fasilitator

Kecerdasan Kinestetik, bagi mahasiswa sangat penting, oleh karena itu Dikti menfasilitasi program Universiade: kegiatan olahraga antara mahasiswa sedunia; World University Championship: kegiatan olah raga singel event yang diselenggarakan oleh FISU sekali dua tahun; Asean University Games atau POM ASEAN dan Pekan Olah Raga Nasional (POMNAS) (dikti.co.id). Peran pendidikan tinggi memang sudah tepat untuk diposisikan sebagai fasilitator yang menyediakan peluang di segala bidang potensi mahasiswa yang pada akhirnya bertujuan memampukan mahasiswa beradaptasi dan berkreasi di semua lini kehidupan.

Kesadaran stake holder pendidikan tinggi tentang pentingnya kecerdasan kinestetik ini bisa saja bersifat otonomi kampus, namun tetap saja diperlukan rambu-rambu peraturan yang memayungi hak aktualisasi potensi mahasiswa di bidang kecerdasan kinestetik ini menuju kecerdasan holistik secara nasional dalam rangka menjamin tidak terabaikannya hal ini di perguruan tinggi. Implementasi berbagai program dan aturan yang ada yang memampukan mahasiswa mendayagunakan kecerdasan kinestetiknya niscaya akan mengarahkan sumber daya manusia terdidik lulusan pendidikan tinggi menuju prestasi yang layak diunggulkan.


C. Pembahasan

1. Posisi Strategis Kecerdasan Kinestetik dalam Pencapaian Kesuksesan

Tubuh manusia itu cerdas, kelincahan jemari tangan pelukis Affandi, juga gerak tarian, Bagong Koesoedihardjo sangat menawan hati. Demikian juga kelincahan jemari pianis, keterampilan tangan ahli bedah, pekerja laboratorium, pesepak bola timbulkan decak kagum.Kecerasan Kinestetik dalam diri mereka adalah hasil pertumbuhan melalui latihan atau kebiasaan. Apa yang dikehendaki akal budi kreatif untuk bergerak mampu direspon oleh tubuh secara spontan dalam hitungan sepersekian detik dengan segala kelenturan, keterukuran, ketepatan serta kreativitas yang mengagumkan.Tubuh manusia demikian cerdas melebihi robot ataupun binatang, karena dalam tubuh manusia bersemayam akal budi kreatif. Siapapun yang memiliki Kecerdasan Kinestetik yang berkembang senantiasa memperoleh kesehatan, atau kebugaran tubuh lebih daripada orang biasa, juga membuahkan keceriaan hati dan kesegaran otak lebih daripada orang biasa. Tubuh yang bergerak cerdas mendinamisasi kinerja akal budi.

Posisi strategi kecerdasan kinestetik di antara jenis-jenis kecerdasan yang lain adalah bertitik berat pada suatu cara pembelajaran dan optimalisasi masing-masing kecerdasan. Keunggulan kecerdasan kinestetik diantara kecerdasan yang lain terdapat pada cara pemahaman mahasiswa terhadap semua potensi yang ada pada dirinya. Proses pembelajaran memacu kecerdasan kenestetik lebih menyenangkan dan mudah dipahami. Cerdas gerak berarti dapat mengoptimalkan kerja pada otak karena pada kecerdasan gerak diperlukaan adanya koordinasi antara otak dan saraf motorik. Orang dengan kecerdasan ini dikatakan sebagai orang yang ”berpikir” melalui tubuh dan memiliki koordinasi motorik yang baik dalam berbagai bidang. Mereka memproses informasi melalui sensasi yang dirasakan dalam tubuh mereka. Tidak bisa diam, ingin bergerak terus, mengerjakan sesuatu dengan tangan atau kakinya, dan berusaha menyentuh orang yang diajak bicara merupakan ciri dari kecerdasan ini. Mereka sangat baik dalam ketrampilan jasmani dan menyukai aktivitas fisik dan berbagai jenis olah raga. Mereka lebih nyaman mengkomunikasikan infromasi dengan peragaan (demonstrasi) atau pemodelan. Mereka dapat mengungkapkan perasaan mereka –emosi dan suasana hati- melalui tarian.Setiap orang mempunyai pengalaman dengan tubuh dan gerak setidaknya dalam beberapa hal atau tingkat. Itulah perasaan akrab dan nyaman yang dimiliki seseorang ketika bersepeda setelah beberapa lama tidak melupakannya, tubuh kita begitu saja ”ingat” bagaimana mengendarai sepeda (Jasmine, 2007).


2. Solusi alternatif Pendidikan Tinggi

Berikut ini beberapa renungan penulis tentang upaya solusi yang bisa dilakukan pendidikan tinggi (termasuk dalam hal ini Dirjen Dikti) dalam rangka mengaktualisasikan potensi kecerdasan mahasiswa agar berprestasi di semua bidang keahlian dan peminatan.

  1. Membangun dan membudayakan kecerdasan holistik bagi mahasiswanya, yang meliputi kecerdasan kinestetik, intelektual, emosional,

  2. Menghasilkan berbagai model sistem pengembangan kecerdasan kinestetik oleh PT yang paling sesuai bagi mahasiswanya,

  3. Mengembangkan wawasan, sikap, dan ketrampilan dosen berlandaskan kecerdasan kinestetik dalam rangka mempersiapkan insan cerdas dan kompetitif

  4. Memgembangkan kurikulum pengembangan kecerdasan kinestetik mahasiswa

  5. Memberdayakan (termasuk pendanaan) Unit-Unit Kegiatan Mahasiswa terkait (terutama UKM keolahragaan)

  6. Mencari tenaga ahli dan tenaga pelatih kurikulum pengembangan kecerdasan kinestetik mahasiswa,

  7. Menetapkan indikator ketercapaian kecerdasan holistik mahasiswa yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan lulusan (output)


Dalam hal pembelajaran, strategi untuk mempermudah proses belajar mengajar yang mengoptimalkan kecerdasan kinestetik di antaranya bisa dengan:

    1. Jangan paksakan mahasiswa untuk belajar sampai berjam-jam.

    2. Belajar sambil mengeksplorasi lingkungannya (contohnya: belajar mengajar sambil bersepeda, gunakan obyek sesungguhnya untuk belajar konsep baru).

    3. Izinkan mahasiswa untuk mengunyah permen karet pada saat belajar.

    4. Gunakan warna terang untuk meng-highliht hal-hal penting dalam bacaan.

    5. Izinkan mahasiswa untuk belajar sambil mendengarkan musik.



D. Kesimpulan

Kecerdasan kinestetik, yaitu kemampuan untuk menggunakan tubuh dengan terampil dan memegang objek dengan cakap atau dengan kata lain kecerdasan seluruh tubuh dan kecerdasan tangan

Posisi strategi kecerdasan kinestetik di antara jenis-jenis kecerdasan yang lain adalah bertitik berat pada suatu cara pembelajaran dan optimalisasi masing-masing kecerdasan. Keunggulan kecerdasan kinestetik diantara kecerdasan yang lain terdapat pada cara pemahaman mahasiswa terhadap semua potensi yang ada pada dirinya. Proses pembelajaran memacu kecerdasan kenestetik lebih menyenangkan dan mudah dipahami.

Solusi alternatif di perguruan tinggi : membangun dan membudayakan kecerdasan holistik bagi mahasiswanya, pengembangan kecerdasan kinestetik, mengembangkan wawasan sikap dan ketrampilan dosen berlandaskan kecerdasan kinestetik, mengembangkan wawasan sikap dan ketrampilan dosen dalam kecerdasan kinestetik dan lain – lain


E.SARAN

Pemetaan potensi kecerdasan mahasiswa seyogyanya bisa dilakukan setiap pendidikan tinggi dengan menggunakan metode tertentu yang bisa dijadikan sebagai acuan bersama, regional maupun nasional, bahkan internasional. Hal ini membutuhkan kajian riset yang serius dan mendalam.

Strategi optimalisasi kecerdasan kinestetik tidak dilakukan dengan intervensi, tetapi lebih bersifat pendampingan. Kesadaran ini harus tertanam baik di kalangan civitas akademika, masyarakat, stake holder pendidikan tinggi, dan dunia kerja.













Daftar Pustaka

A. Setiono Mangoenprasodjo, Anak Masa Depan dengan Multi Intelegensi, (Yogyakarta: Pradipta Publishing, 2005)

Azhar Arsyad, Kunci Keberhasilan Pendidikan Bahasa Asing Masa Kini: Beberapa Pokok Pikiran, makalah, tidak diterbitkan, disampaikan dalam Seminar Nasional dalam rangka Pembukaan Program Doktor Universitas Islam Negeri Malang, 23 Juni 2007

David Gamon dan Allen Bragdon, Building Mental Muscle: Conditioning Exersices for The Six Intelligence Zones, terj. Rahmani, Cara Baru Mengasah Otak dengan Asyik: Temuan-temuan Mutakhir Tentang Kinerja dan Struktur Otak Plus Permainan-permainan Heboh Untuk Mengasah 6 Zona Kecerdasan, (Bandung: Kaifa, 2007)

Joy A. Palmer (editor), Fifty Modern Thinkers on Education, terj. Farid Assifa, 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pemikiran Modern, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006)

Julia Jasmine, Professional’s Guide: Teaching with Multiple Intelligences, terj. Purwanto, Panduan Praktis Mengajar Berbasis Multiple Intelligences, (Bandung: Nuansa, 2007)

Munif Chatib, Multiple Intellegences, makalah disampaikan dalam training Multiple Inttelligences untuk guru Yayasan Cakra Buana, Depok, Juni 2006

Thomas Armstrong, In Their Own Way Discovering and Encouraging Your Child’s Multiple Intellegences , terj. Rina Buntaran, Setiap Anak Cerdas! Panduan Membantu Anak Belajar dengan Memanfaatkan Multiple Intelligences-nya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005

Thomas R. Hoerr, Becoming a Multiple Intelligences School, terj. Ary Nilandari, Buku Kerja Multiple Intelligences Pengalaman New City School, (Bandung: Kaifa, 2007)




0 komentar: